halaman

EDITORIAL

Sepertinya ramadhan akan datang..., dan langkah persiapan umat islam di mulai timbul diman-mana. semacam euforia yang sangat menghanyutkan dalam tradisi ramadhan dari tahun ketahun. kita kadang terlupa akan hal yang paling utama apa yang harus di persiapkan dalam menyambut bulannya Allah ini.

semoga pada bulan ramadhan mendatang kita dapat memberikan kegiatan yang penuh hikmah bagi kita sendiri.
selamat menuanaikan ibadah puasa....

TOBAT, oleh KH mustafa bisri

Bahkan sebelum gegap gempita reformasi – ada yang sempat menghitung 1000 hari sebelum krisis menimpa negeri ini – beberapa kiai sepuh sudah mengingatkan agar kita berlari kepada Allah dan berisitighfar, memohon ampunanNya. Mereka sendiri sudah mendahului yang lain. Mereka semua membaca qunut Nazilah ketika dan setiap kali bersembahyang dan beristighfar sesudahnya. Di samping itu masing-masing melakukan amalan-amalan sebisa mereka. Ada yang setiap malam bangun bermunajat kepada Allah hingga subuh; ada yang setiap malam mengkhatamkan Al-Quran dan berdzikir bersama santrinya; ada yang meningkatkan puasa Senin-Kemis mereka dengan puasa Nabi Daud; bahkan ada yang bersama kiai-kiai di sekitarnya membentuk semacam ‘tim Istikharah’ untuk menjaring isyarat-isyarat langit. Agaknya mereka itu merasakan, sebelum atau bersamaan dengan melihat-nya orang-orang yang nuraninya masih jaga, adanya ketidakberesan yang berlangsung. Bersamaan dengan meningkatnya frekwensi kengawuran mereka yang ngawur di satu pihak dan semakin gencarnya koreksi mereka yang melihat ketidakberesan dan berani mengoreksi kengawuran yang terjadi di pihak lain, para kiai yang tidak pernah diliput media massa itu pun semakin merundukkan kepala dan semakin keras mengetuk pintuNya. Anehnya – dan ini cukup mendebarkan – ketika tuntutan reformasi memuncak dan tanda-tanda keberhasilan tuntutan itu sudah mulai tampak, bahkan mungkin ada yang sudah berpesta merayakan kemenangan, para kiai sepuh itu sama sekali tidak mengendorkan mujahadah dan istighatsah mereka. Ketika semua orang menyuarakan reformasi, termasuk mereka yang sebenarnya masuk katagori yang perlu ‘direformasi’, boleh jadi para kiai yang meratap ke langit itu pun menjadi bahan olok-olok. Bahkan ketika ada yang bertanya dengan sinis apa yang dilakukan para kiai dalam keadaaan genting seperti sekarang ini dan dijawab “Para kiai terus berdoa”, komentar yang lebih sinis pun sepontan dilontarkan: “Keadaan sudah seperti ini kok hanya berdoa”. Mungkin tidak enak mendengar komentar yang meng-hanya-kan doa ini, namun bisa dimaklumi. Memang selama ini doa dan istighatsah sudah terlalu diglangsar, digunakan lebih sebagai semacam kosmetik untuk menyogok Tuhan bagi kepentingan-kepentingan yang tidak karuan juntrungnya. Sementara kehidupan serba daging yang secara sistematis digayakan selama ini, telah menyebabkan kita sebagian terlalu ngendel-ngendelke, mengandalkan, akal; sebagian lain malah tidak menggunakan atau kehilangan akal sama sekali. Sedangkan, sebagaimana nurani, ruh hampir tidak mendapat tempat. Doa yang ruhaniah pun hanya untuk mendukung kepentingan daging. Atau bahkan doa itu sendiri sudah menjadi “daging doa”. *** Setelah ‘kepala orde baru yang lapuk’, Soeharto, lengser, sebagian orang mungkin berpikir bahwa orde yang lapuk itu pun sudah benar-benar ambruk. Kalau memang ada pikiran demikian, jelas ini pikiran yang terlalu sederhana. Orde ini sudah lebih 30 tahun dibina dan diawetkan, bukan oleh ‘kepala’nya saja. ‘Buntut’-nya –melebihi buntut cicak yang mampu bergerak-gerak setelah terputus dari kepalanya-- masih panjang. Orde yang dibina dan diawetkan sekian lama itu telah menciptakan ‘peradaban’ yang tidak mudah diganti. Bahkan sadar atau tidak, mental dan budayanya masih melekat atau setidaknya mempengaruhi hampir semua kita. Lihatlah, ketika kita bicara krisis dan reformasi, misalnya, tetap saja yang tampak mencuat adalah kepentingan yang sempit: kepentingan sesaat; kepentingan pribadi; atau kepentingan kelompok. Sedemikian mencuatnya kepentingan dan interes itu hingga orang tak lagi jeli tentang apa yang sebenarnya paling mendesak dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Krisis-krisis yang jalin-berjalin antara krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik, krisis moral, sampai krisis kepercayaan dan teori-teori pemulihan keadaan -- dari berbagai krisis jalin-berjalin itu -- yang hanya mengandalkan akal dan ternyata sampai saat ini belum memperlihatkan tanda-tanda kemanjurannya pun tampaknya belum mampu menggerakkan orang untuk benar-benar kembali kepada Pemilik saham satu-satunya, Allah! Padahal semuanya mengaku yakin bahwa Ialah Yang Maha Kuasa atas segalanya. Ada memang yang memandang krisis-krisis yang melanda kita saat ini sudah menjurus kepada azab Allah dan untuk menolaknya perlu melakukan ‘pendekatan’ kepada Allah. Memang menurut Quran, 8. Al-Anfaal: 33, yang dapat menangkal azab Allah itu hanya dua: kehadiran Nabi Muhammad saw. dan istrighfar. Dan orang pun beramai-ramai membaca shalawat untuk ‘menghadirkan’ Rasulullah saw dan beristighfar bahkan beristighastah. Namun pendekatan kita kepada Allah itu agaknya masih mengikuti ‘pola lama’, karena kita belum melakukan ‘reformasi’ dalam dan terhadap diri kita sendiri. Ego dan kepentingan masih pekat mewarnai niat kita. Tobat kita masih belum nasuha. Istighfar kita -- meminjam istilah wali perempuan dari Basrah, Rabi’ah ‘Adawiyah -- masih membutuhkan istighfar pula. Istighfar adalah permohonan ampun. Memohon ampun memerlukan pengakuan terhadap dosa dan sikap merendahkan diri sendiri. Orang yang tidak merasa berdosa atau tidak tahu dosa yang diperbuatnya, istighfarnya paling hanya sampai sebatas lisan. Jadi sebelum beristighfar dan bertobat, kita memang perlu melakukan ‘reformasi’ menyeluruh terhadap diri kita sendiri yang telah sekian lama terbenam dalam ‘peradaban’ orde baru-nya Soeharto cs. ‘Peradaban’ yang menyuburkan perangai-perangai busuk seperti arogansi, kepengecutan, keserakahan, kemunafikan, rahi gedheg (tak tahu malu), dan sebagainya. ‘Peradaban’ yang mengedepankan ego dan kepentingan sendiri. ‘Peradaban’ yang mengagungkan daging dan materi. ‘Peradaban’ mencari selamat sendiri. ‘Peradaban’ yang hanya tahu hak dan mempersetankan tanggungjawab. ‘Peradaban’ yang menjadikan Allah hanya sebagai persinggahan saat perlu mem-bemper-i kehendak. Dst. dst. Beristighfar dan bertobat bagi yang merasa berdosa dan tahu dosanya pun harus diawali dengan meninggalkan dosanya itu. Mereka yang berdosa ikut membuat kerusakan, tidak cukup hanya beristighfar tanpa mempertanggungjawabkan andil mereka dalam membuat kerusakan itu. Orang yang berdosa melakukan korupsi, misalnya, tidak cukup hanya menadahkan tangan dan berucap “AstaghfiruLlahal ‘Adziem, AstaghfiruLlahal ‘Adziem” saja sambil terus tanpa malu menikmati sisa-sisa hasil korupsinya. Mereka yang ikut membangun sistem yang menyengsarakan rakyat banyak, tidak cukup hanya menyatakan tobat tanpa memperbaiki sikap mereka. Kita yang kemarin diam saja saat melihat kemungkaran terus berlangsung, entah karena takut, sungkan, atau kepentingan-kepentingan sendiri, tidak cukup hanya menyatakan tobat tanpa bertekad untuk tidak mengulangi kelakuan kita itu. Demikian seterusnya.

Minggu, 12 Juni 2011

MAAFKAN AKU I & II oleh Mukhtar Mukti Ali pada 24 Oktober 2010 jam 19:41

I
Aku merindukan sepucuk cinta di tebing kering yang lantak di telan bencana.

Aku meraba sebuah berita, dihatimu sedang tak berkata.., tentang rona ronanya sepasang kekasih tersedot kasih.

Aku tersedu dibibir waktu.. Dan bertanya kenapa dipucuk ini bertengger kau dan aku.

Aku tak mampu membuatmu jatuh cinta.

II
Aku menengadah di atas tebing kering dimana adelwise tak pernah tumbuh dan elang tak pernah bercengkrama.

Ada senyawa layu dalam sanubari.., ada tangis tak terduga.

Aku bertanya kepadamu, kemana kau bawa pergi kekasihku hari ini...!

Tiadakah kau mendengar keluh dalam telinga angin tentang hati yang hampir berwarna abu-abu.

Racun-racun telah menyatu. Kemana kau bawa penawarku?

BUNGA TANAH BENCANA. pada 03 November 2010 jam 12:26

Ku singgahi taman hati yang layu, gersang ditelan bencana. Kutanami bunga cinta, semua orang meneteskan air mata.., karena kita paham, tak ada tanaman hidup tanpa air mata. Jika mereka layu, ku wajarkan ada jiwa jiwa yang mati namun hanya meranggas.., dan alam kenyataannya mulai ganas. Aku datang membawa bunga cinta.., untukmu kasih, kau selalu murung terkurung ditanah bencana.

oh.., kasih. oleh Mukhtar Mukti Ali pada 03 November 2010 jam 23:11

Masihkah kau merindu dibalik selimut cahaya itu, kasih?

Masihkah kau renda manik mimpi di dekapan lelahku?

Masihkah kau jawab segala pertanyaan tentang air mata yang selalu turun memecah bumimu.

Aku lena.., aku terpana..,

kasih bawah merapi. oleh Mukhtar Mukti Ali pada 06 November 2010 jam 12:04

Masih aku lihat bayang-bayang TUHAN diatas Merapi itu.., malaikat-malaikat turun tanpa sayap.., menunggangi hati mereka yang kuat.

Dibawah hujan asap kutemukan bukti kasih dan cintamu itu malaikat. kau diantara tirus wajah dan kering sayap berdebu.

Aku tak mampu bergeming saat kau dekap tubuhku, hangat kau antarkan aku dalam kedamaian dan terangnya sisi kesombonganku.

Ada Tuanmu di atas merapi, mengamati dengan kasih. Ada kasih Nya yang terselip dalam dekap.
031110

luka hati, 141110 oleh Mukhtar Mukti Ali pada 14 November 2010 jam 6:53

ijinkan aku bertanya kepada penghuni luka hati. Apakah engkau akan selalu menemani ataukah segera pergi setelah hati ini mati? Karena terlalu banyak goresan mengukir racun. Apakah aku akan ter goncang dilanda sepi..?

Ijinkan aku bernyanyi untuk menghantarkan lukaku dilarung laut, ditelan bumi, ditebar angin, dibakar mentari.

Requem dari biara suci atau tahlil dari negeri sufi.., lamat lamat menggugurkan pedih tertanam dalam hati.

sore mulai turun oleh Mukhtar Mukti Ali pada 26 November 2010 jam 22:05

sore mulai turun.

Seorang anak merapal mantra batas ketakutan.

Sementara mataku mulai bertanya.
Dimana kutemukan pemandangan indah menyejukkan.

Semenjak aku memandangmu kawan.., pikiranku melayang.

Membayangkan mu telanjang, tanpa noda. Hanya kulit bersih anak adam.

Aku akan membuyarkan mimpimu tentang keindahan pikiranmu yang ternyata penuh tipuan.

Sore mulai turun.., perang telah dihentikan dan darah melebur hitam malam.
Sangkakala telah dibunyikan.

Tuhanmu datang dalam berkah kecintaan.

merindu wajah oleh Mukhtar Mukti Ali pada 12 Desember 2010 jam 7:40

Masih kau merindu wajah di sebalik namanya. Atau yang berada di sebalik tirai langit biru?

Ketahuilah nama hanya sekedar rangkaian kata dan ingatan manusia.

Hari-hari panjangmu hanya merangkai kata dan kerinduan tak tampak tereja.

Masihkah engkau mengingat kecupan hangatnya walau masih terlihat gincu memerah didahimu?

Sadarkah engkau, dia menunggu di penghujung sore itu dan waktu itu memang hanya ada satu.

Memahami lekuk wajahnya adalah merindukan wajahnya.

Tak ada yang terindah dalam penantian sore ini tanpa merindukan wajahnya.

Tak ada yang bijaksana dalam perbincangan sore ini selain menyiapkan bibir merekah indah untuk bersiap menyentuh wajahnya.
SukaTidak Suka · · Bagikan · Hapus

Ketika Shinta Meragu oleh Mukhtar Mukti Ali pada 30 Januari 2011 jam 21:30

Sarungkan busur asmaramu kutahu tidak ada lagi kijang kencana penjelmaan kaki tangan rahwan.

Pulanglah, ketempatmu dan lupakan janji palsu karena hutan ini kau meragukan cintaku.

Kau mengira kesucian ku telah hilang ditelan para raksasa.?

Aku tak mau menunggang pundak hanuman yang perkasa.

Datanglah dan jemput cintamu sendiri...

Aku shinta yang meragu..

Tentang keabadian cinta pada biru langitmu.

Aku hanya perempuan biasa.

Langit Malam Terakhir Januari oleh Mukhtar Mukti Ali pada 31 Januari 2011 jam 21:24

Harusnya sudah waktunya mengunduh kata-kata dari langit dibulan Januari karena dia mulai enggan berkata.

"kau menginjak dewasa" kernyitnya.
"dan seharusnya sudah mengenal seribu kata" desahnya
"namun kenyataanya tak ada yang dapat engkau lafalkan dari perkataan bumi, matahari. Bahkan kau menyebut aku sebagai benda tak berkata." gerutu dalam lenguhnya.

Memindai langit bukanlah mengamati bintangnya... Di Januari hanya dapatkan rasi rasi umur yang telah menua..

Haruskah langit harus berkata...?

Senin, 06 Juni 2011

saudara

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 03 Juni 2011 jam 13:18
Jika ikatan batin lebih kuat dari genggaman tangan, Maka itu jangan merasa jauh walau benar jauh.


Jika kita masih melihat bulan,
kita masih berada pada pijakan yang sama. maka jangan merasa sepi walau benar sepi.


Jika kita masih berbahasa lisan dan tubuh sama. Maka kita masih bisa berbicara walau tak ada kalimat yang tak terucap.


jika kita masih merasa hangat mentari.
maka mentari tak pernah memisahkan kita.
Walau siang malam membatasi.

Tak ada yang benar terpisah walau lepas terpisah.
karena kita bersaudara.

kukukus rembulan

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 23 April 2011 jam 23:42

ohh malam...,sungguh nian aku kelaparan pada tengah gelap ini.

penghuni dapur telah menguap keluar dari cerobong asap.



anak-anak kami lapar.., andaikan aku berada di bumi.., maka akan ku masukkan batu bumi dalam bejana.

atau aku berada langit maka akan aku ambil bintang lalu akan kusuguhkan.



sayangnya aku memang tak pada dua tempat itu...,

berada dalam eter bukanlah impian.., dan bulan sinis menantang



apa salahnya bila aku menodongkan pisau dapur di atas wajah rembulan.., pada raut wajahnya aku kelupas

supaya dia merasa betapa resahnya aku menutupi telingaku. anak anak memang tak pernah berhenti menangis di malam hari yang gelap



kukukus rembulan, didalam bejana besar..., tiap malam..

dari uapnya kami akan menikmati sauna harum tubuh rembulan

dan tubuh kami pun harum.



tubuhnya hanya mengganjal lapar ingatan anak anak kami

mencari tentang sejarah peradapan masa lalu, yang kadang tersimpan

dalam wa\jah rembulan

maaf saya menangis

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 15 April 2011 jam 16:24

maaf saya menangis, kabarnya
banyak orang yang meninggalkan
amal jariah saya. pantas saja tak
pernah terkirim doa...., doa yang
di janjika.
maaf saya menangis, air mata
saya bukan untuk menyalami
surga yang telah saya bina,
namun karena banyak
peninggalan saya yang disia-sia,
kenapa itu pula saya tak pernah
nyaman tinggal diurga.
maaf saya menangis, sepertinya
air mata tak akan pernah
membasahi pikiran panas anak
anak kita.. di dunia mungkin
karena mereka hanya mengingat
wajah saya sementara pikiran
saya dianggap asap saja.
maaf saya menangis...

kesadaran

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 13 April 2011 jam 16:57


kalaupun kita hancur, itupun kita dulu juga pernah berkeping keping, maka itu kapan kita akan sadar bahwa kita ini makhluk, bukan Tuhan.

kalau kita ini ada, itu pun kita dulu juga pernah tak ada., maka itu kapan kita akan sadar, bahwa kita makhluk fana, bukan abadi.

kalaupun kita ini besar, itu pun kita dulu juga pernah keci, maka itu kapan kita akan, sadar bahwa kita tidak tetap, bukan stabil

kalau kita ini menangis, itu pun kita dulu juga pernah tak menangis, maka itu kapan kita akan sadar, bahwa mata mengandung air mata, bukan mata kering tak berasa.

kalau kita ini sadar manusia, itu pun dulu kita juga pernah bukan manusia, maka itu kapan kita sadar, bahwa kita dimulyakan, bukan dinistakan.

lalu kapan kita akan menyadari bahwa kita memang benar-benar sadar,
karena kesadaran adalah pintu bagi orang yang di ingatkan

pulang

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 12 April 2011 jam 11:49
pulang
ku selusuri jalan pulang
setelah lelah mengejar jejak para petualang, dia Nabi dan Rosul di gelap dan terang.

jalan pulang panjang menyemak belukar
seperti mengurai ingatan yang tertancapkan
oleh mereka yang selamat pulang setelah tersesat
di kegelapan malam.

pulangku yang berliku.., memberi luka dalam khayalan
dan pikiran.
seperti inikah jalan pulang?

terbayang rumah dan pemandangan hijau merumput laut
dari ujung ke ujung ingatan ku selalu lena tentang jalan awal kutapak kabarnya menuju peradapan.

aku merasa lelah karena sepertinya ini bukan menuju kepada sebuah dambaan.

maafkan aku leluhur kebenaran..., aku harus pulang.
harapanku sang petualang menemukan dambaannya dirumahku sendiri yang hijau merumput laut, lautan cinta tiada batas.

repertoar mati

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 06 Maret 2011 jam 11:04
Tutup mata..
ingatan perlahan mengilang.
batas nyata dan maya tidak ada.
perjalanan waktu tersendat.

tidur atau mati tiada yang pasti
ibu bumi penitip badan mati mulai mengamini.
jiwa lari pias mengelilingi jasad di telan mati

kemana lagi...!
Kapan lagi..!

Tidak ada nama anak lagi

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 04 Maret 2011 jam 19:45
Anak kecil lari menuju masa depan.
Padahal dia adalah masa depan.

Ibunda menanti, bapaknya mengajari.

Kami rindu menidurkanmu.
Kami berpadu menciummu.

Kami.. Menunggu kedatangan bocah masa depan.

abvul

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 03 Maret 2011 jam 18:39
Kucingku, kau yang mengendus seluruh tangan dan kakiku.

Apa yang kau ciumi dari kakiku yang mulus ini dan tanganku yang lentik ini?

Abvul, kucingku, mampukah kau membersihkan lukaku? Luka hati dari kekosongan jiwa.

Aku memelukmu, dan kau tahu disana tempat jiwaku bersemayam.., engkau tak pernah menggeliat.

Lalu kau berkata dalam matamu.

"aku nyaman disini, menjadi kompres hatimu yang panas membara"

"wahai tuan putri, aku bukan kucing walau aku berbadan kucing, aku adalah cahaya"

sontak aku sadar ternyata aku berda dalam alam gelap gulita.

Zikir Bisu~puisi untuk orang yg mengatas namakan Islam dan menganiaya Ahmadiah.

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 08 Februari 2011 jam 23:21
Masihkah kau bercahaya, dibalik jubah darahmu?

Zikirmu, zikir bisu.

Ku menelusup lorong jiwamu, kosong berdebu, bacin merayu.

Jauh pikiranmu, kubaca, ku tak tahu.

Ayat-ayatmu kosong, tabiatmu mlompong.

Kau gelantang tubuhmu gelap atas gelap.

Manusiakah kamu...?
Atau setan berjubah!

Di pelataran lingga Mu

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 05 Februari 2011 jam 13:10
Bagaimana dengan yoniku? dia memang tak bergincu namun mampu membuatMu kelu pada bagian terdalamMu. Ketiba belahan langit Kau buka lalu apa yang kucari adalah liang kenikmatanMu menyepit, tak kasat mata. Lobang kecil penyedot cahaya, masa dan massa. KUN engkau berkehendak FAYAKUN aduh ribuan cinta tercipta.. Air mani menghujan...

Oi, nikmatnya pelataran linggaMu.. Di sana kusaksikan buah persenggaman kita keluar beserta penopang hidupnya.

merata dilautan eter mereka membacanya wahyu yang turun pada Rosul dan Nabi.

Namun aku dan Engkau menyebutnya cinta.

hujan sian hari

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 01 Februari 2011 jam 13:06
Hujan siang hari..., langit bercahaya. Ku iyakah duhur menyapa. Dimihrab kita bertemu. Mengulas puas selayang rindu. Di pagi tadi aku memang beringsut darimu.. Menuju jalan jalan aspal gahar melumat kaki berdarah beku. Hujan... Ini teramat sendu dan rinainya menampar kalbu. Oh demi apa, aku memang telah membuang waktu. Aku malu.

Di pelataran lingga Mu

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 05 Februari 2011 jam 13:10
Bagaimana dengan yoniku? dia memang tak bergincu namun mampu membuatMu kelu pada bagian terdalamMu. Ketiba belahan langit Kau buka lalu apa yang kucari adalah liang kenikmatanMu menyepit, tak kasat mata. Lobang kecil penyedot cahaya, masa dan massa. KUN engkau berkehendak FAYAKUN aduh ribuan cinta tercipta.. Air mani menghujan...

Oi, nikmatnya pelataran linggaMu.. Di sana kusaksikan buah persenggaman kita keluar beserta penopang hidupnya.

merata dilautan eter mereka membacanya wahyu yang turun pada Rosul dan Nabi.

Namun aku dan Engkau menyebutnya cinta.

Hujan siang hari

oleh Mukhtar Mukti Ali pada 01 Februari 2011 jam 13:06
Hujan siang hari..., langit bercahaya. Ku iyakah duhur menyapa. Dimihrab kita bertemu. Mengulas puas selayang rindu. Di pagi tadi aku memang beringsut darimu.. Menuju jalan jalan aspal gahar melumat kaki berdarah beku. Hujan... Ini teramat sendu dan rinainya menampar kalbu. Oh demi apa, aku memang telah membuang waktu. Aku malu.